13 Juli 2011

Demokrasi Gulai Daging

Alkisah dalam suatu pertemuan, bahan-bahan gulai daging saling bedebat tentang ketidakadilan dalam komposisi gulai daging. Sehari-hari biasanya daging mendapatkan porsi yang terbesar di antara bahan-bahan lain. Bahkan, banyaknya kuota untuk bahan-bahan lainnya juga ditentukan oleh si mayoritas ini. Karena tidak tahan dengan kondisi tersebut, bahan-bahan gulai daging yang lainnya melakukan protes besar-besaran yang akhirnya dimediasi melalui rapat paripurna dewan gulai daging.

Setelah rapat dibuka, hampir semua bahan-bahan mengajukan permohonan untuk berbicara. Pimpinan rapat kemudian memberi kesempatan pertama kepada cabe giling. "Saya sebagai cabe giling, kedudukan saya sangat penting dalam gulai ini. Tampa saya, gulai tidak akan ada rasanya. Oleh sebab itu saya harus mendapat hak yang sama dengan daging", ujar cabe giling. Kesempatan berikutnya diberikan kepada santan kelapa. Ia kemudian berkata, "Saya juga inti dari gulai ini, tampa saya gulai tidak akan ada. Karena itu saya juga meminta hak yang sama dengan daging". Lalu bumbu gulai pun berkoar, "Saya mesti medapat posisi yang sama dengan daging. Namanya saja gulai, kenapa harus daging yang medapat lebih?". Pendapat demi pendapat terus bergulir, mulai dari garam, bawang merah, bawang putih, hingga rempah-rempah juga mengeluhkan hal yang sama. Mereka beranggapan sama-sama penting dalam gulai daging dan harus mendapatkan hak yang sama.

Karena begitu besarnya desakan dari anggota rapat, maka pimpinan pun mengambil sebuah langkah. Ia memutuskan setiap bahan-bahan berhak medapatkan kuota yang sama dalam gulai daging. Akhirnya diberikanlah kuota masing-masing bahan sebanyak satu kilogram. Walhasil, jadilah gulai daging versi terbaru dengan komposisi yang adil. Akan tetapi, bukannya menyelesaikan masalah, gulai daging versi ini justru biang dari segala masalah yang baru. Mulai dari tempatnya yang tidak cukup, bahan-bahan yang tidak pernah padu, susahnya gulai matang, dan yang paling utama rasa gulai menjadi tidak karuan.

Jadi apa hikmah dibalik cerita tersebut? Ternyata demokrasi yang mengedepankan persamaan hak dan kepentingan bukanlah solusi dari sebuah persoalan. Seperti seporsi gulai daging, setiap bahan memiliki kadar yang berbeda yang justru dapat menjadikan gulai tersebut menjadi lezat dan nikmat. Sebagai contoh, meskipun garam memberi rasa pada gulai, jika berlebihan, pastilah rasa gulai menjadi keasinan dan bila dikonsumsi oleh pengidap hipertensi, wah tentu bisa berabe (-_-; )

Demikian juga dalam kehidupan sehari-hari, tidak selalu memberi hak dan kewajiban yang sama pada setiap orang akan menjadikan hidup lebih baik. Si Adik yang masih SD tentunya tidak bisa diberi jajan yang sama dengan si Kakak yang sudah kluiah. Bayangkan juga jika kaum hawa mendapat kewajiban yang sama untuk ronda pada malam hari seperti kaum laki-laki. Atau jika bapak-bapak juga ngotot minta "cuti hamil" sama seperti ibu-ibu? (^o^ )

Hal-hal seperti ini sepertinya sangatlah sepele, tapi inilah kenyataan dalam kehidupan kita. Jika ada orang yang berpikir bahwa demokrasi yang adil itu adalah persamaan hak dan kewajiban secara membabi buta, maka itulah manusia yang sangat sesat dan menyesatkan melebihi aliran sesat manapun. Bila ada yang mendunkung, itu hanyalah suatu pembenaran dari egoisme dan oportunitas berkedok demokrasi semata. Justru demokrasi sejati adalah bagaimana menempatakan antara hak dan kewajiban secara proposional sehingga hidup kita bisa berjalan dengan harmonis dan serasi. Tempatkanlah diri kita pada posisi yang tepat, jangan memaksa diri bila tak mampu. Syukurilah segalanya dengan ikhlas, mudah-mudahan itulah yang terbaik untuk kita.


Semoga colotehan yang tidak seberapa ini bisa memberi manfaat.

Salam Glontor....

Tidak ada komentar:

Cari Blog Ini

MAIN-MAIN

ads